Perjalanan
pertama saya menggunakan kereta api sebenarnya bisa dibilang cukup ekstrim,
berbahaya dan sangat nakal. Waktu itu, sekitar akhir tahun 90-an, saya masih
duduk di bangku kelas 5 SD, permainan mobil Tamiya sedang happening di Cibadak, sebuah kota kecil di Sukabumi yang menjadi
kota kelahiran saya. Semua anak kecil sepertinya sedang keranjingan mainan dari
negeri sakura ini. Berbagai macam kejuaran Tamiya pun banyak diselenggarakan.
Dari mulai kejuaran balap Tamiya sampai kejuaraan modifikasi Tamiya dengan
tampilan paling keren dan unik. Semua anak berlomba-lomba menghias dan
memodifikasi “mobil”nya sekeren dan secepat mungkin. Tidak terkecuali saya.
Demi
memenangkan kejuaran Tamiya itu, saya dan sepupu saya nekad berangkat ke Bogor
dengan menggunakan kereta api untuk membeli suku cadang mobil Tamiya yang bagus.
Di daerah Jembatan Merah, tidak jauh dari Stasiun Bogor, ada sebuah toko mainan
yang menjual lengkap aneka suku cadang mobil Tamiya. Tentu saja rencana perjalanan
kami ke Bogor waktu itu tanpa sepengetahuan dan izin dari orang tua. Setahu
mereka, kami sedang main di rumah teman.
*
Jalur
kereta api rute Sukabumi – Bogor mulai terhubung sejak tanggal 21 Maret 1882
dengan jalur lintasan meliputi Stasiun Sukabumi – Stasiun Cisaat – Stasiun
Cibadak – Stasiun Parungkuda – Stasiun Cicurug – Stasiun Cigombong – Stasiun
Maseng – Stasiun Ciomas – Stasiun Batutulis dan Stasiun Bogor. Kami berangkat ke
Bogor dari Stasiun Cibadak, tanpa membeli karcis.
“Gak usah beli karcis, gak ada duitnya juga.” itu sepupu saya yang bilang.
“Oh gitu, terus nanti gimana kalau diperiksa gak punya karcis?”
“Gampang, nanti kita sembunyi aja di toilet.”
“Ya udah atuh.”
Sebenarnya, bagian paling yang saya tunggu ketika menaiki kereta api adalah justru bagian pemeriksaan karcis. Ketika kondektur memeriksa karcis dan mengeluarkan alat ajaibnya : Pembolong Karcis! Alat ajaib itulah yang selalu membuat saya bahagia ketika mendengar bunyi “Cekrek!” tanda karcis sudah diperiksa dan dilubangi. Kebahagiaan yang sederhana untuk seorang anak kecil seperti saya. Tapi, karena hari itu saya tidak mempunyai karcis, dengan terpaksa saya harus menghindari bagian terbaik itu dan memilih untuk sebisa mungkin menghindari kondektur.
Selama perjalanan, saya sudah ingin pingsan karena mencium bau keringat, bau toilet dan udara gerbong yang pengap, sesak oleh asap rokok serta penumpang yang jumlahnya sudah melebihi kapasitas tempat duduk. Maklum, kereta ekonomi dulu itu memang benar-benar “ekonomis”, baik dari segi harga, fasilitas dan pelayanannya. Kereta ekonomi waktu itu juga dikenal rawan pencopetan dan tindak kriminal lainnya. Untung saja, sekarang PT. KAI sudah memperbaiki layanannya dengan menyediakan rangkaian kereta ekonomi yang sudah dilengkapi dengan AC, petugas keamanan, tempat duduk yang nyaman dan bebas asap rokok.
Meskipun keadaan kereta ekonomi waktu itu masih mengkhawatirkan, tapi semua sepertinya terbayar oleh pemandangan indah sepanjang perjalanan. Kereta yang kami tumpangi melewati hamparan hijaunya pepohonan, membelah pegunungan yang meliuk-liuk, dan melintasi beberapa sungai, diantaranya Sungai Cipaku, Sungai Cisadane, Sungai Cibadak, Sungai Cigembrong, Sungai Cilingsir, Sungai Cigombong, Sungai Cibeber, Cibojong, Sungai Cipalasari dan Sungai Cicatih.
“Gak usah beli karcis, gak ada duitnya juga.” itu sepupu saya yang bilang.
“Oh gitu, terus nanti gimana kalau diperiksa gak punya karcis?”
“Gampang, nanti kita sembunyi aja di toilet.”
“Ya udah atuh.”
Sebenarnya, bagian paling yang saya tunggu ketika menaiki kereta api adalah justru bagian pemeriksaan karcis. Ketika kondektur memeriksa karcis dan mengeluarkan alat ajaibnya : Pembolong Karcis! Alat ajaib itulah yang selalu membuat saya bahagia ketika mendengar bunyi “Cekrek!” tanda karcis sudah diperiksa dan dilubangi. Kebahagiaan yang sederhana untuk seorang anak kecil seperti saya. Tapi, karena hari itu saya tidak mempunyai karcis, dengan terpaksa saya harus menghindari bagian terbaik itu dan memilih untuk sebisa mungkin menghindari kondektur.
Selama perjalanan, saya sudah ingin pingsan karena mencium bau keringat, bau toilet dan udara gerbong yang pengap, sesak oleh asap rokok serta penumpang yang jumlahnya sudah melebihi kapasitas tempat duduk. Maklum, kereta ekonomi dulu itu memang benar-benar “ekonomis”, baik dari segi harga, fasilitas dan pelayanannya. Kereta ekonomi waktu itu juga dikenal rawan pencopetan dan tindak kriminal lainnya. Untung saja, sekarang PT. KAI sudah memperbaiki layanannya dengan menyediakan rangkaian kereta ekonomi yang sudah dilengkapi dengan AC, petugas keamanan, tempat duduk yang nyaman dan bebas asap rokok.
Meskipun keadaan kereta ekonomi waktu itu masih mengkhawatirkan, tapi semua sepertinya terbayar oleh pemandangan indah sepanjang perjalanan. Kereta yang kami tumpangi melewati hamparan hijaunya pepohonan, membelah pegunungan yang meliuk-liuk, dan melintasi beberapa sungai, diantaranya Sungai Cipaku, Sungai Cisadane, Sungai Cibadak, Sungai Cigembrong, Sungai Cilingsir, Sungai Cigombong, Sungai Cibeber, Cibojong, Sungai Cipalasari dan Sungai Cicatih.
*
Setelah sekitar 2 jam perjalanan dan lolos dari pemeriksaan kondektur, akhirnya kami sampai di Stasiun Bogor. Itu adalah kali pertama saya menginjakan kaki di Stasiun Bogor yang ternyata sangat besar dan ramai, dibandingkan dengan stasiun kecil kami di Cibadak. Ratusan, bahkan mungkin ribuan orang memadati stasiun ini. Saya, seorang siswa kelas 5 SD, baru sadar mungkin saya bisa saja hilang di stasiun besar ini. Karena itu, saya menjaga untuk tidak berjauhan dengan sepupu saya yang memang orang Bogor dan pernah ke sini.
Saya kira masalah kami hanya sebatas pemeriksaan karcis oleh kondektur di kereta api. Ternyata ada masalah lain ketika kami hendak keluar dari stasiun. Berbeda dengan stasiun kecil di Cibadak, sistem keamanan di stasiun besar seperti Stasiun Bogor ini lebih ketat. Penumpang yang tidak mempunyai karcis kereta tidak diperbolehkan keluar stasiun dan diwajibkan membayar denda. Artinya, kami tidak bisa keluar dari stasiun dan membeli suku cadang mobil Tamiya yang menjadi tujuan kami datang ke Kota Hujan ini.
Untungnya sepupu saya mempunyai sebuah ide yang cemerlang (atau mungkin lebih mendekati kata gila daripada cemerlang).
“Nanti, kamu pegang saja lengan kemeja bapak yang itu. Aku pegang tas ibu yang ini. Biar disangka sama penjaga stasiun kita ini anak mereka” dia menjelaskan rencana jeniusnya.
“Ok!”
Saya yang waktu itu masih lugu, polos dan sedikit bodoh mengikuti rencananya. Saya memegang erat lengan kemeja bapak tua yang gak jelas siapa dia. Rencana tersebut sukses, saya berhasil melewati penjaga karcis sehingga bisa keluar dari stasiun tersebut. Tapi, kemana sepupu saya? Sempat terpisah beberapa saat, saya merasa ketakutan akan benar-benar hilang di stasiun ini.
“Dzikri!” suara kecil dari sepupu saya akhirnya menghilangkan rasa takut itu. Dia pun ternyata berhasil melewati penjagaan karcis setelah berjalan sambil menggandeng tas perempuan di sampingnya. Entah disebut berhasil atau sebenarnya petugas stasiun mengetahui modus kami dan membiarkan kami melewatinya, tapi kalau dipikir dengan akal sehat sekarang, saya cukup takut mengingat kejadian tersebut sambil membayangkan bagaimana kalau seandainya waktu itu kami diculik di stasiun? Atau dibawa oleh bapak dan ibu yang kami pegang kemejanya? Atau tertangkap penjaga stasiun dan kemudian dilaporkan ke polisi? Duh…dasar anak-anak nakal!
No comments:
Post a Comment