Tuesday, November 10, 2015

Sembrani dan Santet Cinta

1.

Pukul 05.05 alarm dari iPhone saya berbunyi. "Kring..kring..kring". Bunyi bel klasik. Bukan bunyi-bunyian tekno modern yang banyak dipasang orang sebagai bunyi alarmnya. Buat saya, bunyi bel klasik memiliki semacam kekuatan magis yang dapat masuk ke dalam alam bawah sadar untuk membangunkan saya dari rupa-rupa mimpi yang datang semalam. Sedangkan pukul 05.05 sendiri adalah kombinasi angka yang saya kira cukup menarik. Lima-nol-lima. Okelah, saya pilih kombinasi angka dan bunyi itu membangunkan tidur saya setiap pagi.

Pagi ini saya masih dalam perjalanan dari Semarang menuju Surabaya menggunakan Kereta Sembrani. Perjalanan saya kali ini ke Surabaya adalah untuk menemui calon klien yang katanya akan membangun sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produk retail. Mereka membutuhkan konsultan branding untuk konsep brand perusahaan yang akan dibangunnya tersebut. Seharusnya saya berangkat langsung dari Bandung menggunakan pesawat, tapi karena weekend kemarin ada pameran fotografi Kota Lama di Semarang, ya sekalian saja dari Bandung saya mampir dulu ke Semarang dan kemudian baru berangkat ke Surabaya juga menggunakan kereta.

Ya, intinya sih selama ada jalur kereta, saya akan selalu memilih menempuh perjalanan menggunakan si kuda besi. Buat saya berkendara dengan kereta adalah aktivitas jiwa yang baik. Banyak cerita dan pengalaman menarik setiap kali menempuh perjalanan dengan menggunakan kereta yang akhirnya menambah wawasan dan pemahaman saya tentang kehidupan.

2.

Seperti pagi hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi (entah berapa banyak pagi kemarin yang saya lalui dengan rutinitas yang sama), setelah bisa membuka mata pukul 05.05, sebetulnya saya tidak langsung benar-benar bangun. Ya, baru separuh nyawa yang bisa dikatakan bangun dari tidur. Harus ada bantuan dari secangkir kopi hitam panas untuk membangunkan separuh lagi nyawa yang masih meringkuk, belum sadarkan diri. Karena itu, saya segera menuju kereta makan untuk memesan secangkir kopi hitam panas.

"Bu, kopi hitam satu. Yang panas ya, bu."

"Oke mas."

"Oh ya, gak usah pakai gula, bu."

"Siap!"

Daya toleransi tubuh saya terhadap kafein sepertinya semakin meningkat dari hari ke hari menuju level yang saya sebut mengkhawatirkan. Sekarang saya sudah tidak bisa merasakan kenikmatan kopi manis atau dengan rasa seperti capucinno, mochacinno, latte, caramel dan sebagainya. Kopi semacam itu sudah tidak mempan buat saya. Kopi saya harus hitam, panas dan pahit, tanpa gula. Menurut filosofinya, orang yang meminum kopi hitam pahit itu mempunyai karakter yang kuat, berani, tidak suka bertele-tele, apa adanya dan sedikit kasar. Ya, mungkin itu adalah alasan lain kenapa saya sangat suka dengan kopi hitam pahit. Karena kopi itu cukup merepresentasikan bagaimana kepribadian saya.

Sepasang suami istri memasuki ruangan kereta makan, duduk di depan meja saya, berhadapan dan kemudian mereka memesan mie instan untuk sarapannya.

"Bu, mie instan dua, pakai telor ya."

"Iya, pak."

Si bapak tersenyum ke arah saya dan spontan saya langsung membalas senyum ramahnya itu.

"Kopi pak." Saya menawarkan kopi, mencoba basa basi untuk menghangatkan suasana.

"Silakan mas, mau sarapan dulu. Hehe..."

"Oh, iya. Hehe..."

Si bapak di hadapan saya umurnya kira-kira 35 tahun dan istrinya tampak lebih muda, mungkin seusia saya, 26 tahun. Saya ajak mereka ngobrol sambil minum kopi. Si bapak namanya pak Sugiyo. Beliau adalah seorang satpam perkebunan di daerah Banyuwangi. Beliau dan keluarganya baru pulang dari Semarang menghadiri pernikahan saudara mereka di daerah Simpang Lima.

"Mau ke Surabaya nengokin pacarny ya, mas? Hehe..." Si istri ikutan nimbrung.

"Hehe...gak bu,ini ada kerjaan aja ke Surabaya." Jawab saya kaget atas pertanyaan monohok itu. "Lagian saya belum punya pacar bu. Hehe..."

"Oalah...ganteng-ganteng kok gak punya pacar toh?" Si istri tertawa kecil,entah meledek atau menggoda.

"Iya nih bu, gak ada yang mau ke saya. Hehe..."

"Harus dikasih 'santet cinta' nih pak..." Si istri tersenyum sambil melihat ke arah ke pak Sugiyo.

Hah? Santet cinta? Apaan tuh??? Perasaan saya mendadak jadi gak enak.

Menurut kepercayaan masyarakat di daerah pak Sugiyo, untuk melancarkan jodoh seseorang bisa meminta bantuan ke orang sakti di sana. Caranya orang tersebut bisa dipakaikan susuk, diberi jimat ataupun dikirimkan jampi-jampi ke pasangan yang diinginkan biar dia mau mendekat.

"Wah saya mah gak percaya pak yang gitu-gituan. Hehe..." Yang bener aja masa saya cari jodoh pakai bantuan dukun. Huhu...

"Awalnya saya juga gak percaya, mas. Dulu waktu masih muda, saya orangnya pemalu. Jangankan ngedeketin cewek, ketemu cewek aja saya gak percaya diri, mas" pak Sugiyo menjelaskan dengan menggebu-gebu."Terus saya diajak temen saya ke orang sakti dan dikasihnya saya batu. Katanya batu itu disakuin aja,nanti tinggal lihat banyak cewek yang datang. Eh, pas saya pulang itu bener mas cewek-cewek itu jadi banyak yang nyamperin ke saya."

"Oh gitu pak?" Saya melihat istrinya dan kemudian muncul pertanyaan: jangan-jangan dia dijampi-jampi juga.

"Iya mas, kalau sampeyan mau bisa saya antar ke tempat guru saya." Guru yang dimaksudnya adalah panggilan untuk orang sakti yang dipercaya mempunyai kemampuan supranatural untuk memasang santet cinta tersebut.

"Haha...gak deh pak, saya yang alami-alami saja. Kalau sudah ada jodohnya, inshaAllah gak susah kok pak."

"Iya mas, itu pilihan saja. Hehe..."

3.

Kereta yang kami tumpangi sudah menurunkan laju kecepatannya. Oh, ini sudah sampai di Stasuin Surabaya Pasar Turi. Terima kasih pak masinis, terima kasih mbak pramugari, terima kasih pak Sugiyo. Santet Cinta, ah ada-ada saja....

No comments: